Anda membutuhkan bantuan pembuatan Skripsi-Tesis-Disertasi Hukum
hubungi : SMS/WA.089603621907.
Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma. Norma adalah pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das sollen, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma adalah produk dan aksi manusia yang deliberatif. Undang-Undang yang berisi aturan-aturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku dalam bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama individu maupun dalam hubungannya dengan masyarakat. Aturan-aturan itu menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan terhadap individu. Adanya aturan itu dan pelaksanaan aturan tersebut menimbulkan kepastian hukum.[1]
Menurut
Gustav Radbruch, hukum harus mengandung 3 (tiga) nilai identitas, yaitu sebagai
berikut :[2]
- Asas kepastian hukum (rechtmatigheid). Asas ini meninjau dari sudut yuridis.
- Asas keadilan hukum (gerectigheit). Asas ini meninjau dari sudut filosofis, dimana keadilan adalah kesamaan hak untuk semua orang di depan pengadilan
- Asas kemanfaatan hukum (zwechmatigheid atau doelmatigheid atau utility.
Tujuan hukum yang mendekati realistis
adalah kepastian hukum dan kemanfaatan hukum. Kaum Positivisme
lebih menekankan pada kepastian hukum, sedangkan Kaum Fungsionalis
mengutamakan kemanfaatan hukum, dan sekiranya dapat dikemukakan bahwa “summum
ius, summa injuria, summa lex, summa crux”
yang artinya adalah hukum yang keras dapat melukai, kecuali keadilan
yang dapat menolongnya, dengan demikian kendatipun keadilan bukan merupakan
tujuan hukum satu-satunya akan tetapi tujuan hukum yang paling substantif
adalah keadilan[3]
Menurut
Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu pertama, adanya
aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh
atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari
kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu
individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh
Negara terhadap individu.[4]
Ajaran kepastian hukum ini berasal dari ajaran
Yuridis-Dogmatik yang didasarkan pada aliran pemikiran positivistis di dunia
hukum, yang cenderung melihat hukum sebagai sesuatu yang otonom, yang mandiri,
karena bagi penganut pemikiran ini, hukum tak lain hanya kumpulan aturan. Bagi
penganut aliran ini, tujuan hukum tidak lain dari sekedar menjamin terwujudnya
kepastian hukum. Kepastian hukum itu diwujudkan oleh hukum dengan sifatnya yang
hanya membuat suatu aturan hukum yang bersifat umum. Sifat umum dari
aturan-aturan hukum membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan
keadilan atau kemanfaatan, melainkan semata-mata untuk kepastian.[5]
[1] Peter Mahmud Marzuki, Pengantar
Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, 2008,
hlm.158.
[2] Dwika, “Keadilan dari
Dimensi Sistem Hukum”, http://hukum.kompasiana.com.
(02/04/2011), diakses pada 24 Juli 2014.
[3]
Dominikus Rato, Filsafat Hukum
Mencari: Memahami dan Memahami Hukum, Laksbang Pressindo, Yogyakarta, 2010,
hlm.59.
[4] Riduan Syahrani, Rangkuman
Intisari Ilmu Hukum, Penerbit Citra Aditya Bakti,Bandung, 1999, hlm.23.
[5] Achmad Ali, Menguak
Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Penerbit Toko Gunung
Agung, Jakarta, 2002, hlm.82-83.